Metro Jateng
Berita Jawa Tengah

Kesejahteraan Petani Harus Jadi Indikator Capaian Swasembada Pangan

METROJATENG.COM, JAKARTA – Target ambisius pemerintah untuk mencapai swasembada pangan dinilai masih jauh dari harapan jika kesejahteraan petani tidak dijadikan tolok ukur utama. Anggota Komisi IV DPR RI, Rokhmin Dahuri, menyoroti bahwa keberhasilan di sektor pangan tak hanya soal produksi, tetapi juga keseimbangan sistemik yang mencakup ekonomi para pelaku utama yaitu petani, nelayan, dan peternak.

“Selama ini kita terlalu fokus pada angka produksi. Padahal, kalau petaninya tetap miskin, apa artinya semua itu? Swasembada bukan sekadar surplus, tapi juga soal keberlanjutan dan kesejahteraan,” ujar Rokhmin.

Ia menegaskan, ada tiga indikator utama dalam mengukur ketahanan pangan nasional, yaitu produksi harus melebihi konsumsi, pelaku usaha pangan harus hidup layak, dan sistemnya harus mampu bertahan dalam jangka panjang.

Namun, Rokhmin juga mengkritisi ketidaksesuaian antara kebijakan dan pelaksanaannya. Ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap langkah pemerintah yang tetap melakukan impor meskipun sebelumnya menjanjikan akan menghentikan impor untuk empat komoditas utama, beras, jagung, gula, dan daging.

“Baru akhir tahun lalu pemerintah bilang tidak akan impor empat komoditas itu mulai 2025. Tapi kenyataannya, bulan lalu kita tetap impor 200 ribu ton beras. Ini jelas melukai kepercayaan publik dan petani kita,” katanya dengan nada tegas.

Khusus soal beras, ia menyampaikan bahwa Indonesia sebenarnya dalam posisi surplus. Data Kementerian Pertanian menyebutkan proyeksi produksi beras pada 2025 akan mencapai 33 juta ton, sedangkan kebutuhan nasional hanya sekitar 31 juta ton. Cadangan beras pemerintah melalui Bulog saat ini juga cukup besar, yaitu sekitar 2,4 juta ton.

“Kalau hanya soal beras, kita relatif aman. Tapi pangan itu tidak hanya beras. Jagung, gula, dan kedelai masih jadi tantangan besar. Apalagi distribusinya juga belum merata,” tambahnya.

Menurutnya, masih banyak daerah di Indonesia yang kekurangan pasokan karena persoalan logistik dan infrastruktur distribusi. Wilayah seperti Jawa dan Sulawesi Selatan mengalami surplus, namun kawasan seperti NTT dan Riau justru defisit.

“Inilah pentingnya reformasi sistem transportasi dan pergudangan. Produksi kita mungkin cukup, tapi kalau distribusinya kacau, tetap saja masyarakat di daerah akan kesulitan akses pangan,” tutupnya.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.