METROJATENG.COM, JAKARTA – Keragaman identitas, budaya, bahasa, etnis dan agama merupakan kekuatan penuh untuk menghadirkan praktik politik yang inklusif, menjangkau semua tanpa pembeda.
“Kegiatan politik tidak bisa dilepaskan dari identitas seseorang. Setiap politisi memiliki beragam identitas, baik secara ras, agama, maupun asal daerah. Namun, terdapat nilai, ideologi, filosofi kebangsaan yang menjadi pedoman dalam berpolitik,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutannya saat menerima peserta Socdem Asia-Progressive Alliance dengan tema Politics of Identities: Harnessing Power in Diversity and Unity di Gedung Nusantara 1 DPR/MPR Jakarta, Selasa (22/11). J
Kaukus Social Democracy Asia (SocDem Asia) merupakan organisasi yang beranggotakan partai-partai politik di negara-negara Asia dan Eropa yang menginisiasi nilai-nilai sosial dan demokratis untuk memperjuangkan kesetaraan dan hak azasi untuk semua.
Identitas personal, jelas Lestari, memiliki korelasi dengan realitas sosial tempat individu bertumbuh.
Dalam catatan sejarah, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, budaya Asia dengan seperangkat identitas, spirit kesatuan mengalami tantangan melalui bermacam distorsi politik yang kemudian mengerucut pada tujuan utama demokrasi sosial yaitu merangkul kelompok yang dikucilkan secara sosial kemudian merealisasikan hak-hak universal yang tak terpisahkan dari diri mereka.
Identitas, jelas Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, adalah bagian dari keadaan alamiah manusia (human nature). Dalam identitas personal terdapat identitas sosial. Misalnya sebagai orang Indonesia, juga merupakan bagian dari Asia Tenggara, juga adalah orang Asia.
“Kesatuan identitas ini tidak mungkin dipecah begitu saja tanpa alasan mendasar karena menjadi kesatuan yang kompleks,” ujarnya.
Yang menjadi masalah, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, adalah jika identitas atau atribut diri tertentu digunakan dan dimanipulasi untuk tujuan politik.
Kawasan Asia, ujar Rerie, memiliki satu kultur keterhubungan yang mengakar dari sejarah masa lalu. Berbagai kebudayan yang saling mempengaruhi, terlihat jelas di berbagai negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Keterhubungan ini, jelas Rerie, menjadi penanda bahwa bangsa Asia pada masa lalu mampu membangun relasi tanpa mengedepankan atribut pembeda.
“Setiap orang dijamin hak dan kebebasannya, terlepas dari latar belakangnya. Negara yang demokratis tidak melihat orang bedasarkan identitasnya,” tegasnya.
Tugas masyarakat global saat ini, ujar Rerie, adalah menyudahi ragam kebencian dengan satu tekad bahwa berpolitik tak pernah berorientasi pada kesejahteraan publik dengan label dan atribut tertentu.(nda)