METROJATENG.COM, JAKARTA – Penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB) polio harus segera diikuti upaya pencegahan masif lewat percepatan pencapaian target imunisasi polio dan peningkatan literasi masyarakat terkait pencegahan penyakit polio.
“Indonesia telah mendapatkan sertifikat bebas polio dari WHO pada 2014. Ditemukannya kasus polio di Aceh harus menjadi perhatian semua pihak untuk mengambil langkah segera untuk mengatasinya,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Senin (21/11).
Catatan Kementerian Kesehatan saat ini sebanyak 415 Kabupaten/Kota di 30 provinsi di Indonesia masuk dalam kriteria risiko tinggi polio karena rendahnya imunisasi, termasuk di Aceh, yang ditemukan kasus polio pada anak usia 7 tahun 2 bulan di awal Oktober 2022.
Berdasarkan laporan data imunisasi rutin per Oktober 2021, cakupan imunisasi dasar lengkap baru mencapai 58,4% dari target 79,1%.
Kebijakan KLB polio di Indonesia dilaporkan terakhir terjadi pada 2005-2006 untuk virus polio tipe 1 yang berasal dari Timur Tengah. KLB ketika itu terjadi di 10 provinsi dan 47 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, dengan total kasus yang dilaporkan sebanyak 305.
Dalam perjalanannya Indonesia sukses mengatasi penyebaran polio di tanah air dan menerima sertifikat bebas polio dari WHO pada 27 Maret 2014.
Kasus polio di Aceh, menurut Lestari, harus menjadi alarm pengingat para pemangku kepentingan untuk secara konsisten mendorong masyarakat agar mendapatkan imunisasi dasar dengan tepat waktu.
Mekanisme untuk memenuhi kebutuhan imunisasi dasar, termasuk imunisasi polio pada anak, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, harus benar-benar dijalankan dan dipantau capaiannya secara tertib.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu juga menyayangkan masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan imunisasi dasar kepada anak dan balitanya.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap adanya program percepatan pemenuhan imunisasi dasar, yang saat ini kondisinya terbilang rendah dan berisiko tinggi di sejumlah kabupaten/kota di tanah air.
Menurut Rerie, kolaborasi yang kuat antara para pemangku kepentingan, masyarakat dan dunia usaha harus segera dibangun, untuk mewujudkan peningkatan daya tahan tubuh setiap anak bangsa lewat program dan gerakan bersama.
Karena, tegas Rerie, inkonsistensi kita dalam upaya membangun kesehatan anak bangsa, akan berdampak pada rendahnya daya tahan bangsa ini di masa datang yang penuh dengan tantangan.(nda)