Komisi II DPR RI Paparkan Konsekuensi Pilkada Ulang
METROJATENG.COM, JAKARTA – Fenomena kotak kosong yang terjadi pada beberapa daerah, menimbulkan berbagai konsekuensi, jika ternyata yang menang adalah kotak kosong. Sebab, pemilihan kepala daerah (Pilkada) ulang tak hanya menuntut ketersediaan anggaran, tetapi juga berbagai permasalahan lainnya.
Anggota Komisi II DPR RI, Aminurokhman memaparkan tentang berbagai konsekuensi terkait pilkada ulang. Menurutnya, sangat penting untuk memastikan kesiapan anggaran dan waktu, mengingat proses pendaftaran ulang dan tahapan lainnya memerlukan jeda waktu.
“Pemilukada ulang tentu membutuhkan waktu. Selama jeda itu, harus ada Penjabat (Pj) sementara untuk mengisi kekosongan posisi kepala daerah. Jika masa jabatan Pj masih dalam batas 6 bulan, kami bisa memaklumi. Namun, jika harus menunda hingga 2025, Komisi II menyatakan keberatan, terutama jika keserentakannya tetap ada”, ucapnya.
Lebih lanjut politisi Partai Nasdem ini mengatakan, calon yang mengikuti pilkada ulang perlu memahami konsekuensi dari masa jabatan yang tidak akan genap lima tahun. Hal ini harus dikonfirmasi sejak awal, agar calon paham akan implikasi keserentakan pilkada di tahun 2029 yang tidak dapat dihindari.
“Keserentakan Pilkada 2029 harus tetap berjalan, tidak mungkin hanya karena pilkada ulang kita menunda. Jika calon meminta masa jabatan penuh lima tahun, itu akan menimbulkan masalah baru. Maka, regulasi yang jelas dan sempurna sangat diperlukan sejak awal dan calon harus siap menerima konsekuensinya”, ungkapnya.
Sementara itu, terkait fenomena calon tunggal, Aminurokhman menyatakan, bahwa hal tersebut merupakan bagian dari dinamika demokrasi.
“Calon tunggal adalah representasi dari demokrasi kita, namun tetap ada risiko jika calon tersebut dikalahkan oleh kotak kosong”, pungkasnya.