Gempita Ramadhan Dalam Peningkatan Iman
METROJATENG.COM, SEMARANG – Memasuki hari ke-11 bukan Ramadan, perenungan terus-menerus harus dilakukan. Sudahkan kita memaknai puasa sebagaimana mestinya? Sudahkan gempita menyambut Ramadhan juga berdampak pada gempitanya peningkatan iman kita?
Ramadhan menyapa umat Islam dalam kesan dan makna yang beragam. Keragaman ini wajar mengingat pengalaman beragama (religious experience) memang sangat personal, dipengaruhi tinggi rendahnya iman, ilmu, umur, dan lingkungan psikososial.
Pada masa kecil, gempita menjelang Ramadan sangat terasa karena bayangan kehebohan berbuka, kemeriahan Salat Tarawih dan keseruan Idul Fitri. Bagi setiap anak, puasa merupakan pengalaman sensasional beragama tak terlupakan. Rasa berpuasa saat kanak-kanak bisa berubah karena usia dan situasi yang berbeda. Tetapi umat Islam harus pintar-pintar mencari dan menemukan makna puasa sebagai suatu pengalaman spiritual.
Gempita Ramadhan sekarang ini juga kerap terjadi pada kalangan orang tua dalam menyiapkan hidangan berbuka puasa serta sahur. Bertambah lagi, memasuki separuh perjalanan Ramadhan, gempita berpindah menyiapkan keperluan datangnya Idul Fitri.
Al-Ghazali mengingatkan bahwa puasa merupakan bagian dari iman (al-shaum rub’ul iman). Berpuasa itu kewajiban yang berat. Kalau bukan iman, sulit kita menjalankan puasa. Bayangkan, kita harus meninggalkan makan, minum dan hubungan suami isteri. Tiga kebutuhan yang biasa kita kerjakan setiap hari. Tiba-tiba sekarang kita harus berpuasa. Tanpa keimanan yang kuat, Ramadan pasti akan berlalu seperti bulan-bulan yang lain.
Pendapat al-Ghazali didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: “berpuasa adalah separuh kesabaran” (al-shaum nisf al-shabr) dan “kesabaran adalah separuh dari iman” (al-shabr nisf al-iman). Berpuasa melatih kesabaran seorang hamba untuk menjalankan perintah Tuhannya. Menahan haus dan lapar dari Subuh hingga Maghrib membutuhkan kesabaran ekstra tinggi. Ada banyak godaan ketika di rumah, apalagi di luar rumah. Sekalipun ia makan sahur bersama keluarga, jika tidak sabar menunggu waktu berbuka tiba, ia akan mampir ke rumah makan saat makan siang. Tanpa keimanan, berpuasa nyaris seperti laku sia-si
Pahala Puasa
Hampir semua pahala ibadah disebutkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebagai contoh, haji. Seseorang yang melaksanakannya dengan sempurna, maka ia mendapatkan predikat mabrur. Pahalanya adalah surga berdasarkan hadits Rasulullah SAW: “al-hajj al-mabrur laisa lahu al-jazailla al-jannah.” Begitu pula dengan salat. Ada sekian janji pahala yang diberikan Allah SWT kepada orang yang menegakkannya. Antara lain, orang yang salat dan tidak menyia-nyiakannya, maka ia memiliki perjanjian dengan Allah SWT untuk dimasukkan surga (kana lahu ‘indallah ‘ahdun an yud-hilahu al-jannah) (HR. Abu Dawud, 1420). Begitu pula dengan ibadah yang berkaitan dengan harta, pahala dan imbalannya disebutkan di dalam agama.
Berbeda dengan amaliah di atas, puasa merupakan ibadah yang balasannya misterius. Hanya Allah SWT yang tahu. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kebaikan (yang dilakukan akan dibalas) dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Maka sesungguhnya puasa untuk-Ku dan Aku akan membalasnya sendiri.”
Selain puasa, sabar juga merupakan amaliah yang pahalanya tidak dipublikasikan. Dalam QS al-Zumar: 10 disebutkan: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Hadits ini linier dengan hadits sebelumnya yang menyebut: “Puasa adalah separuh kesabaran.”
Puasa dan sabar adalah amaliah ibadah yang tidak dapat dilihat orang lain. Seseorang tidak bisa memamerkan puasa dan kesabaran kepada orang lain. Kegiatan sahur dan buka bersama yang mungkin dipajang di media sosial. Tetapi tidak ada jaminan, setiap orang yang sahur dan buka pasti berpuasa. Puasa merupakan amaliah batin yang betul-betul hanya diketahui oleh Allah SWT dan dirinya sendiri.