METROJATENG.COM, JAKARTA – Berbagai persoalan kepemilikan tanah berpotensi memicu permasalahan di bidang kehidupan lain. Ragam permasalahan itu harus segera diselesaikan lewat membangun sistem pendataan bidang tanah yang lebih baik dan akurat.
“Ragam polemik dalam masyarakat terjadi karena sertifikat kepemilikan tanah belum menjamin kepemilikan atas bidang tanah benar- benar kuat. Berbagai persoalan kepemilikan tanah muncul karenanya,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Sudahkah Sertifikat Menjamin Kepemilikan Atas Tanah? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (1/2).
Diskusi yang dimoderatori Drs. Muchtar Luthfi A. Mutty, M.Si (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Saan Mustopa, M.Si. (Wakil Ketua Komisi II DPR RI), dan Andi Tenri Abeng, A.Ptnh., M.H (Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional /ATR-BPN) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Dewi Kartika (Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, salah satu upaya untuk mengatasi sejumlah permasalahan tersebut
saat ini Pemerintah sedang melakukan proses sertifikasi tanah secara masal melalui mekanisme Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Mekanisme tersebut, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, patut diapresiasi dan didukung oleh semua pihak dalam pelaksanaannya.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu berharap, lewat mekanisme PTSL pendataan tanah bisa dilakukan secara transparan dan akurat untuk kepentingan pemetaan tanah yang lebih baik.
Selain itu, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, upaya proses sertifikasi berbasis digital juga merupakan langkah yang positif dan harus diikuti dengan upaya pembinaan dan peningkatan literasi digital masyarakat.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustopa berpendapat luas tanah tidak akan bertambah kecuali ada reklamasi.
Di sisi lain, tambah Saan, kebutuhan atas tanah terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk yang mendorong kebutuhan tempat tinggal.
Sehingga, tegas Saan, persoalan tanah akan menjadi persoalan klasik yang selalu muncul dan berpotensi memicu konflik dan sengketa tanah.
Hal-hal tersebut, tambah dia, harus bisa diantisipasi. Terkait potensi konflik dan sengketa tanah, tegas Saan, penting untuk dibuat roadmap penyelesaian berbagai sengketa atas tanah tersebut.
Kecermatan dan ketelitian dari otoritas yang menerbitkan sertifikat tanah, tambah dia, menjadi sangat penting, untuk mewujudkan sertifikat tanah yang berkekuatan hukum agar mampu mencegah konflik.
Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang, Kementerian ATR-BPN, Andi Tenri Abeng menegaskan, sertifikat tanah merupakan bukti kepemilikan yang kuat, karena di dalamnya tercantum data fisik dan yuridis tanah bersangkutan.
Sertifikat ganda atas tanah bisa terjadi, ungkap Andi, karena bidang tanah bersangkutan belum diploting dalam pendaftaran di BPN dan pemegang sertifikat tidak kuasai tanah secara fisik. “Kondisi ini yang sering terjadi,” tegasnya.
Pemerintah, ungkapnya, menargetkan seluruh bidang tanah yang ada di Indonesia sekitar 126,2 juta bidang tanah sudah terdaftar di BPN pada 2025.
Dalam program PTSL, tegas Andi, tidak semua bidang tanah bisa diterbitkan sertifikat. Dalam enam tahun terakhir, ungkapnya, dari 54 juta bidang tanah yang didaftarkan, sekitar 36,5 juta bidang tanah belum bisa diterbitkan sertifikat karena masih menghadapi sejumlah masalah.
Untuk menekan potensi masalah pertanahan lewat kepastian kepemilikan lahan, Andi mengungkapkan, Pemerintah menginisiasi gerakan pemasangan tanda batas terkait kepemilikan tanah di seluruh Indonesia mulai 3 Februari 2023.
Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika berpendapat pendaftaran atas kepemilikan tanah sudah diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria untuk kepastian hukum.
Menurut Dewi, negara harus mampu melakukan pencatatan kepemilikan tanah baik atas nama perorangan dan badan hukum dengan prinsip-prinsip kepemilikan yang jelas.
Undang-Undang Pokok Agraria, tegas Dewi, mengamanatkan pendaftaran tanah dijalankan Pemerintah secara sederhana sehingga mudah dipahami masyarakat dan berpihak kepada masyarakat ekonomi lemah.
Dewi menilai, upaya pendaftaran bidang tanah jangan hanya bersifat administrasi, tetapi juga merupakan bagian dari upaya memeriksa ketimpangan dan potensi sengketa tanah yang ada.
Dia juga mendorong pendaftaran tanah satu pintu dengan sistem pendaftaran yang transparan, sehingga potret kepemilikan tanah menjadi jelas dengan data agraria yang lengkap dan akurat.
Wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat ada dua hal pokok yang bisa dicatat dalam upaya mengatasi persoalan pertanahan saat ini.
Upaya secara mikro dalam bentuk gerakan pemasangan patok sebagai batas kepemilikan tanah, menurut Saur, merupakan langkah yang bagus untuk membangkitkan kesadaran masyarakat atas kepemilikan tanah.
Dari sisi makro, ujar Saur, adalah masalah besar pertanahan terkait terjadinya ketimpangan dalam kepemilikan bidang tanah, yang menyebabkan dimungkinkannya kepemilikan segelintir orang atas ribuan hektare tanah.
Apalagi, tegasnya, ada upaya UU Pokok Agraria tidak lagi menjadi lex specialis dengan munculnya sejumlah kebijakan dalam Perpu Cipta Kerja. “Jangan sampai Perpu Cipta Kerja malah menambah masalah baru,” pungkasnya.(nda)