Luka Hijau di Tanah Pemalang, Penelitian Dosen UIN Saizu Ungkap Warisan Eksploitasi Kolonial
METROJATENG.COM, PURWOKERTO – Di balik hamparan sawah dan sisa-sisa bangunan tua di Pemalang, Jawa Tengah, tersimpan kisah pilu tentang bagaimana kolonialisme mengubah wajah lingkungan dan kehidupan masyarakat setempat. Melalui penelitian kolaboratif yang dilakukan oleh tim dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, sejarah kelam ini kembali terkuak, mengungkap luka ekologis yang masih terasa hingga kini.
Sidik Fauji, salah satu peneliti, mengungkap bahwa Pemalang yang dulunya dikenal sebagai wilayah agraris yang subur, harus menanggung akibat dari kebijakan kolonial yang eksploitatif antara tahun 1870 hingga 1942. “Pemalang berubah drastis karena kebijakan Tanam Paksa dan investasi swasta yang menggusur pertanian rakyat demi kepentingan industri,” jelasnya.
Dulu, petani Pemalang hidup dari padi yang mereka tanam untuk kebutuhan sendiri. Namun, kolonialisme mengubah segalanya. “Mereka dipaksa menanam komoditas ekspor seperti tebu dan kopi. Akibatnya, banyak keluarga petani kelaparan,” kata Ilham Nur Utomo, anggota tim riset.
Seiring diberlakukannya Undang-Undang Agraria 1870, modal asing masuk deras ke wilayah ini. Pabrik-pabrik gula berdiri megah—seperti di Comal, Petarukan, Banjardawa, dan Sumberharjo—mengubah lanskap hijau menjadi kawasan industri. Meskipun infrastruktur seperti rel kereta dan irigasi dibangun, tujuannya semata untuk mempercepat distribusi hasil tebu ke pelabuhan ekspor.
Namun pembangunan ini membawa dampak serius. Shintawati Dyah Purwaningrum, peneliti teknik lingkungan, menyebutkan bahwa pencemaran sungai dan kerusakan hutan menjadi masalah besar sejak awal abad ke-20. “Bahkan, banjir besar tercatat terjadi akibat alih fungsi hutan. Sungai yang dulunya bersih, kini dipenuhi limbah industri,” ujarnya.
Rakyat Tertindas di Tengah Kilau Gula
Tak hanya alam yang jadi korban. Masyarakat Pemalang juga menderita akibat kebijakan kolonial. Polusi udara dari cerobong asap dan limbah cair dari pabrik gula menyebabkan merebaknya penyakit seperti disentri dan malaria. “Banyak sumur warga tercemar, menyebabkan krisis kesehatan pada era 1920-an,” tambah Sidik.
Ketimpangan sosial pun semakin terasa. Keuntungan hasil panen tebu mengalir ke kantong pengusaha Belanda, sementara buruh lokal hanya mendapat upah minim. “Ini contoh nyata dari kapitalisme kolonial. Modernisasi terjadi, tapi dibangun di atas penderitaan rakyat,” tegas Naufal Kresna Diwangkara, peneliti sejarah ekonomi.
Meski dalam tekanan, sebagian petani tetap berusaha melawan. Mereka diam-diam menanam padi di sela-sela ladang tebu, meskipun risiko tertangkap dan dihukum mengintai. Fariz Nizar, akademisi muda UIN Saizu, menyebut perlawanan ini sebagai bentuk ketahanan sosial dan budaya yang luar biasa. “Pemalang menunjukkan bagaimana komunitas lokal tetap berjuang mempertahankan jati diri di tengah tekanan kolonial.”
Kini, sisa-sisa pabrik gula kolonial masih berdiri sebagai saksi bisu sejarah. Beberapa tinggal puing, namun cerita di baliknya tetap hidup menjadi pengingat akan dampak eksploitasi alam dan manusia. Kabupaten Pemalang saat ini masih berjuang menghadapi tantangan lingkungan—mulai dari banjir, pencemaran, hingga pengelolaan sampah. Penelitian ini membuka mata, bahwa akar persoalan sudah tertanam sejak masa kolonial.
“Pembangunan harus adil, lestari, dan berangkat dari kesadaran sejarah,” tutup Sidik Fauji.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.