Metro Jateng
Berita Jawa Tengah

Hadapi Era Digital Haji, DPR Dorong Revisi UU untuk Layanan Lebih Optimal

METROJATENG.COM, JAKARTA – Penyelenggaraan ibadah haji memasuki babak baru. Di tengah transformasi besar-besaran yang dilakukan Arab Saudi, Indonesia dihadapkan pada tantangan serius untuk menyesuaikan diri. Melihat kondisi ini, DPR RI melalui Komisi VIII menegaskan pentingnya revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah agar lebih adaptif terhadap dinamika global.

Dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “Optimalisasi Penyelenggaraan Haji Lewat Revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah”, yang digelar di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (11/6/2025), Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq dan pengamat haji Ade Marfuddin menyampaikan sejumlah sorotan tajam.

Maman mengungkapkan bahwa pelaksanaan haji tahun ini merupakan yang paling sepi dalam tiga dekade terakhir. Ironisnya, kata dia, transformasi digital yang dilakukan Arab Saudi justru belum sepenuhnya siap — bahkan bagi mereka sendiri. Perubahan besar dari sistem tradisional ke sistem digital melalui perusahaan swasta (syarikat) telah membuat banyak penyelenggara haji, termasuk Indonesia, kelimpungan.

“Arab Saudi sudah tetapkan timeline haji 2026 dimulai dari 8 Februari dengan pemberangkatan pertama April. Ini butuh kesiapan ekstra. Kalau kita tidak bergerak cepat, kita akan tertinggal jauh,” tegas Maman.

Salah satu tantangan besar adalah pendataan jamaah. Maman menyebut adanya insiden hilangnya data jamaah di Bandung dan Indramayu sebagai alarm keras. Menurutnya, dengan Arab Saudi yang sudah beralih ke sistem digital penuh, Indonesia tak punya pilihan lain selain memperkuat sistem sejak dini.

“Kita harus menyesuaikan, mulai dari pendataan, pemesanan hotel, hingga sistem transportasi. Ini tidak bisa lagi dikerjakan secara manual atau sepotong-potong,” ujarnya.

Selain digitalisasi, Maman juga menyoroti integritas dalam proses seleksi kesehatan jamaah. Ia menyayangkan masih banyak calon haji yang dipaksakan berangkat meski kondisi medis tak memungkinkan.

“Harus ada edukasi bahwa meninggal di Mekkah bukan jaminan syahid. Jangan main-main dengan nyawa orang demi keinginan emosional,” ujarnya blak-blakan.

Persoalan lain yang mencuat adalah kualitas layanan akomodasi dan transportasi. Maman mengungkapkan banyak kasus sopir tidak profesional dan ketidakteraturan penempatan jamaah di hotel. Ia menilai lemahnya koordinasi antara syarikat Arab Saudi dan pihak Indonesia menjadi biang masalah.

Sebagai solusi, Maman mendorong pembentukan unit kehumasan khusus di tubuh Badan Pengelola Haji agar informasi kepada publik lebih transparan dan mudah diakses. Ia juga menekankan pentingnya kejelasan peran antara regulator, eksekutor, dan pengawas dalam UU Haji yang baru.

“Sekarang semua masih tumpang tindih. Revisi UU harus bisa menjawab siapa mengatur, siapa menjalankan, siapa mengawasi. Harus jelas,” paparnya.

Tak hanya itu, DPR juga mengusulkan peningkatan kualitas SDM penyelenggara haji. Menurut Maman, mereka harus tak hanya paham agama, tetapi juga melek teknologi, logistik, dan manajemen layanan.

“Haji itu etalase pelayanan negara. Harus mencerminkan kualitas kita sebagai bangsa,” tutupnya.

Diskusi ini menjadi momentum penting untuk mengkaji ulang sistem haji nasional di tengah cepatnya perubahan global. Dengan UU yang lebih adaptif, diharapkan Indonesia tak hanya siap, tapi juga unggul dalam menyelenggarakan ibadah haji di era baru.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.