Anak Pejuang Kanker: Rentan Alami Masalah Kesehatan Mental
METROJATENG.COM, SEMARANG- Kanker tidak hanya mengubah kondisi fisik tetapi juga psikologis anak-anak pejuang kanker. Laporan Kementerian Kesehatan menyampaikan 59% anak dengan kanker alami masalah mental. Hari Kesehatan Mental Sedunia (10 Oktober) adalah pengingat pentingnya kesehatan jiwa bagi seluruh individu. Karena sehat mental adalah hak, termasuk untuk anak-anak yang sedang melawan kanker.
Kanker merupakan penyakit yang menyebabkan sel-sel di dalam tubuh berkembang secara tidak normal, tidak terkendali, dan mampu menyebar ke bagian tubuh lainnya. Tidak hanya terjadi pada orang dewasa, kanker juga dapat menjangkit anak-anak usia 0-19 tahun. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyampaikan, setidaknya ada 400.000 kasus kanker anak di seluruh dunia setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, terdapat 11.156 anak terkena kanker dengan tingkat kesembuhan di bawah 30% per tahun (Globocan, 2020).
Secara umum, penyakit kanker dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni cair dan padat. Kanker cair atau kanker darah (leukemia), merupakan jenis kanker yang paling sering dialami anak, yakni sebanyak 3.880 (34,8%) dari jumlah kasus. Sedangkan jumlah kasus kanker padat, seperti retinoblastoma (kanker mata), tumor otak, dan osteosarcoma (kanker tulang), lebih rendah tetapi tetap perlu menjadi perhatian. WHO menyebutkan, kanker masih menjadi penyebab kematian kedua terbesar bagi anak-anak.
Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Kementerian Kesehatan tahun 2015, 59% anak dengan kanker mengalami masalah mental, seperti gangguan kecemasan, depresi, hingga post traumatic disorder (PTSD). Dalam sebuah publikasi untuk memahami kebutuhan psikososial anak dengan kanker (Datta et al., 2019) menunjukkan tantangan kesehatan mental yang dialami terjadi karena setidaknya tiga hal,
Prosedur pengobatan
Kecemasan dapat dialami oleh anak dengan kanker pada setiap tahap pengobatan. Sebagai contoh pada tahap awal anak baru saja terdiagnosis kanker, prosedur yang menyakitkan seperti pengambilan sampel dari sumsum tulang belakang dapat menyebabkan anak merasa takut yang berat. Anak-anak pejuang kanker menjadi lebih mudah merasa panik ketika akan ke rumah sakit dan tidak berani bertemu dengan staf kesehatan. Selain itu, tingkat kecemasan anak juga dapat meningkat apabila anak menyadari orang tua terlihat khawatir.
Perubahan aktivitas sosial
Dengan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit dan menjalani pengobatan, anak-anak pejuang kanker mengalami perubahan aktivitas sosial secara drastis. Anak-anak yang sebelumnya aktif bermain, kehilangan momen berinteraksi dengan teman sebayanya. Sebagian besar anak-anak harus berhenti bersekolah dan tidak dapat mengikuti kegiatan yang biasa anak lakukan. Perubahan kondisi yang tidak pasti ini mengakibatkan anak mengalami berbagai macam kondisi masalah mental, seperti stress, perubahan mood, hingga depresi.
Perubahan fisik
Selain perubahan aktivitas keseharian, anak dengan kanker juga rentan dengan kesehatan mental karena perubahan fisiknya. Beberapa anak mengalami masalah terhadap citra tubuhnya (body image problems) mendapati tubuhnya berubah akibat pengobatan, seperti kebotakan dan kehilangan anggota badan karena amputasi. Anak-anak dengan kanker merasa berbeda dan kurang percaya diri.
Ketua Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia, Tyas Amalia, menyampaikan “Di sinilah pentingnya peran berbagai macam ahli dan pihak dalam menangani kanker pada anak, seperti melibatkan pekerja sosial profesional dalam kebutuhan keseharian. Sejak 2016, kami berusaha memberikan pendampingan psikososial holistik dan berkelanjutan untuk anak dan keluarga dengan hadirnya pekerja sosial profesional kami.”
Tyas Amalia menambahkan, pekerja sosial yang sudah tersertifikasi di Pita Kuning berperan memberikan asesmen fisik dan psikologis untuk anak dan keluarga, advokasi, sosialisasi, dan menghubungkan kepada ahli seperti psikolog dan psikiater. Hal ini bertujuan untuk mendukung kelancaran dan mengurangi dampak psikososial dari perawatan medis anak dengan kanker.
Ribuan anak di Indonesia tidak hanya mengalami perubahan kondisi fisik tetapi juga psikologis dalam perjuangan melawan kanker. Pendekatan holistik seperti memperhatikan dan memenuhi kebutuhan psikososial anak hingga kolaborasi berbagai pihak dapat mendukung pengobatan kanker pada anak secara maksimal.(ypk/lan)