IKADIN Terus Kembangkan Kapasitas Anggota Melalui Gelar Eksaminasi Putusan PTUN
METROJATENG.COM, JAKARTA – Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) terus berupaya untuk meningkatkan kapasitas anggotanya. Salah satunya melalui eksaminasi terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta No. 584/G/2023/PTUN.JKT bertajuk ‘Menutup Sebelah Mata Terhadap Kebenaran: Menyelam Lebih Dalam Terkait Peran Pengadilan’.
Putusan yang dieksaminasi mengadili gugatan yang diajukan oleh PT Keramika Indonesia Assosiasi Tbk (KIA) karena tagihan-tagihan aset eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang diklaim Pemerintah.
Wakil Ketua Umum DPP IKADIN, Dr.Susilo Lestari mengatakan, kegiatan eksaminasi dengan menekankan pentingnya peran organisasi advokat dalam meningkatkan kemampuan anggotanya.
“Eksaminasi ini merupakan bagian dari kegiatan rutin IKADIN dengan tajuk Legal Update. Eksaminasi ini bukan bertujuan untuk mengerdilkan marwah pengadilan, tetapi menjadi sarana pengembangan kapasitas anggota IKADIN dan masyarakat luas. Putusan pengadilan ini dipilih karena kasusnya yang unik dan menggarisbawahi peran advokat sebagai officium nobile yang menegakkan keadilan”, terangnya.
Materi yang didiskusikan dalam eksaminasi merupakan kasus KIA melawan Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara, Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Ketua Panitia Urusan Piutang Negara Cabang DKI Jakarta dan Ketua Pelaksana Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
“Dua dari banyak isu yang menurut hemat saya cukup menarik dari putusan ini adalah soal finalitas keputusan tata usaha negara dan irisan antara peradilan tata usaha negara dan peradilan umum. Harapannya adalah, agar isu-isu yang ada dalam putusan ini bisa diangkat dan didiskusikan”, kata Dr. Susilo. LSM Law Firm sebagai kuasa hukum dari KIA.
Pengalihan Hutang
Partner LSM Law Firm, Leonard Arpan, memaparkan kasus tersebut bermula dari klaim pemerintah kepada KIA bahwa KIA masih memiliki utang kepada negara. Namun, dokumen yang ada menunjukkan bahwa pemerintah sudah mengalihkan utang KIA kepada pihak ketiga di tahun 2003.
“Masalahnya, pemerintah berkeras bahwa utang ini masih ada. Kami berulang-kali meminta kepada majelis hakim untuk memanggil notaris selaku pihak yang memiliki dokumen transaksi secara lengkap. Sayangnya, majelis hakim menarik diri dari permintaan tersebut dengan dalih akan memperkeruh perkara”, ungkapnya.
Salah satu eksaminator, Dr. Indra Perwira SH. MH menyatakan,
bahwa perkara tersebut menampilkan wujud tekanan dari Mahkamah Agung (MA) yang mengedepankan dukungan terhadap lembaga negara, “Tidak mungkin Majelis Hakim dapat memutus secara adil apabila terdapat tekanan apalagi dari Mahkamah Agung. Seketika ada tekanan dari Mahkamah Agung, itu selesai karena menyangkut karir dan masa depan, sehingga mereka ikut tunduk terhadap arahan MA”, tuturnya.
Menurutnya, keberadaan dukungan ini merupakan suatu pelanggaran hukum, Sebab MA tidak boleh memberikan dukungan ke program lembaga negara lain. Di sisi lain, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini juga menjelaskan bahwa pertimbangan Majelis Hakim dalam tersebut terlalu terpaku pada pasal-pasal dan mengabaikan prinsip-prinsip yang berlaku.
“Majelis Hakim bisa mengesampingkan atau tidak menerapkan ketentuan apabila dirasa tidak sesuai dengan keadilan. Hakim itu the true lawgiver, hukum itu apa yang dinyatakan hakim dan bukan yang dinyatakan legislator”, ucapnya.
Sementara mantan hakim, Dr. Maruarar Siahaan SH. MH menyatakan perlunya instrumen legal audit terhadap putusan-putusan pengadilan, termasuk Putusan No. 584/G/2023/PTUN.JKT.
“Putusan pengadilan harus akuntabel dengan mempertimbangkan alat bukti secara cermat. Sekarang, tidaklah mungkin pihak penggugat yang menghadirkan catatan-catatan yang disimpan sejak dimulainya BLBI apalagi adanya perintah pada zaman orde baru agar dokumen-dokumen itu dinyatakan rahasia”, terangnya.
Lebih lanjut, pengajar di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia ini juga menjelaskan bahwa dalam konteks peradilan tata usaha negara, beban pembuktian itu perlu digeser kepada pemerintah untuk memastikan bahwa putusan itu benar-benar bisa mewujudkan keadilan.
Eksaminasi putusan ini juga diperkaya dengan peneliti yang berasal dari kalangan akademisi dan juga lembaga penelitian. Dr. Dewi Cahyandari, SH. MH selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya berbagi hasil penelitiannya terhadap sikap pengadilan dalam Putusan No. 584/G/2023/PTUN.JKT terhadap Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Menurutnya, Pasal 87 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang memperluas ruang lingkup dari keputusan tata usaha negara, kesempatan bagi pencari keadilan dibuka menjadi sangat luas. Namun hal ini justru tidak diikuti secara konsisten oleh Majelis Hakim.
Selanjutnya, Alfeus Jebabun, S.H., M.H., sebagai peneliti Lembaga Kajian dan Advokkasi Independensi Peradilan juga menemukan dua pelanggaran hukum yang dilakukan majelis hakim. Yaitu, Majelis Hakim menggunakan titik perhitungan tenggang waktu yang keliru dan Majelis Hakim tidak mengutamakan keadilan substantif dan malah mengedepankan keadilan formal.