FGD IKADIN : Penagihan BLBI Sudah Keluar dari Jalur Hukum
METROJATENG.COM, JAKARTA – Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) menggelar Forum Group Discussion (FGD) yang bertajuk ‘Meningkatnya Tren Kekuasaan yang Tak Terkendali : Studi Kasus Pemblokiran Akses SABH oleh Satgas BLBI’. Dalam diskusi tersebut para advokat banyak menyoroti penagihan BLBI yang dipandang sudah keluar dari jalur hukum.
Putusan No. 633/G/2023/PTUN.JKT dan Putusan No. 632/G/2023/PTUN.JKT, menjadi studi kasus untuk mengamati kepatuhan Satgas BLBI dalam melaksanakan tugasnya. Instrumen pemblokiran akses terhadap Sistem Administrasi Badan Hukum pada Kementerian Hukum dan HAM ini, sebelumnya mendapatkan sorotan negatif setelah disinyalir terkait dengan praktik ilegal pengurusan administrasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Sekretaris Jenderal DPP IKADIN, Dr. M. Rasyid Ridho S.H. M.H menjelaskan latar belakang dari kegiatan IKADIN Legal Update,
“Kegiatan ini dibuat untuk membahas isu hukum yang menarik dan banyak dibicarakan oleh masyarakat. Dalam kesempatan ini, eksaminasi putusan dilakukan untuk menjadi sarana kontrol masyarakat terhadap pengadilan”, terangnya.
Dalam eksaminasi ini, IKADIN menyoroti polemik penggunaan pemblokiran akses terhadap Sistem Administrasi Badan Hukum oleh Satgas BLBI. “Meskipun kedua gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, namun kita bisa lihat bagaimana Pemerintah menggunakan pemblokiran Sistem Administrasi Badan Hukum sebagai sarana untuk memaksa pembayaran utang”, ungkapnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Aloysius Joni Minulyo S.H. M.H menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Putusan No. 632/G/2023/PTUN.JKT yang menyatakan gugatan daluwarsa.
“Majelis Hakim keliru karena menghitung tenggang waktu sejak pemblokiran diketahui, padahal Pasal 55 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sudah tegas mengatur bahwa tenggang waktu bagi mereka yang disebut dalam keputusan dihitung sejak objek sengketa diterima”, tuturnya.
Akademisi yang kerap disapa Joni juga menggarisbawahi tidak adanya relevansi antara pemblokiran dengan penagihan utang oleh Satgas BLBI. “Pemblokiran itu untuk melindungi kepentingan pemegang saham ketika terjadi sengketa. Peraturannya keliru karena memberikan wewenang yang terlalu luas kepada Menteri Hukum dan HAM,” ucap Joni sambil mengkritik peraturan menteri yang mengatur pemblokiran.
Wewenang Satgas BLBI
Perspektif lain dihadirkan oleh Arsil selaku Peneliti dari Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) mengomentari dasar wewenang dari Satgas BLBI dalam mengajukan permohonan blokir. “Apakah Satgas BLBI penegak hukum? Apakah Satgas BLBI tergolong instansi pemerintah yang punya wewenang? Hal inilah yang perlu dicermati oleh Majelis Hakim, apakah Keputusan Presiden tentang Pembentukan Satgas BLBI memberikan wewenang? Nyatanya, hanya ada tugas”, ucapnya.
Arsil juga mengomentari sikap Majelis Hakim dalam Putusan No. 633/G/2023/PTUN.JKT yang tidak memeriksa keabsahan pemblokiran karena menilai pemblokiran bersumber dari hubungan keperdataan. “Apakah jika suatu hari nanti terjadi sengketa antara Kementerian dengan vendor maka dapat dilakukan blokir? Nanti tidak bisa diuji juga”, katanya.
Turut hadir dalam kegiatan ini adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto S.H. M.Hum yang juga mengomentari kelemahan dari peraturan-peraturan yang mendasari pemblokiran akses.
“Pengaturan yang berlaku saat itu belum memadai untuk memberikan keadilan. Seharusnya dengan berlakunya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, prosedur yang ada harus terlebih dahulu melibatkan perusahaan sebelum blokir ditetapkan. Jika tidak, tidak ada kehati-hatian”, terangnya.
Aan Eko turut mengomentari politik hukum di Indonesia yang merosot menuju negara kekuasaan. Menurutnya, seharusnya jika terdapat aturan hukum yang membatasi hak asasi manusia, harus diatur dalam undang-undang, bukan level peraturan menteri. Dan pemblokiran akses jelas membatasi hak-hak dari perseroan terbatas, misalnya saja perubahan anggota direksi dan dewan komisaris.
Senada dengan Aan Eko, Dr. Dian Agung Wicaksono S.H. LL.M juga mengemukakan terjadinya pelanggaran fundamental terhadap tatanan peraturan perundang-undangan. Pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengomentari ketentuan dalam Keputusan Presiden Pembentukan Satgas BLBI yang dinilai problematik.
“Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, seharusnya sudah tidak ada lagi keputusan-keputusan yang bersifat mengatur. Semuanya harus dilakukan melalui “baju” peraturan, bukan keputusan”, ucapnya.
Selain membahas kekurangan peraturan yang ada, Dian juga membahas kelemahan pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan No. 633/G/2023/PTUN.JKT yang menilai bahwa pemblokiran bersumber dari hubungan keperdataan.
“Dalam putusan lain, Mahkamah Agung sudah menegaskan bahwa tidak dianggap sebagai hubungan perdata adalah jika Pejabat dapat menolak atau mengabulkan secara sepihak. Dalam konteks blokir, wewenang ini sudah secara tegas diatur dalam peraturan yang berlaku saat itu”, papar Dian seraya menampilkan kutipan Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 19 Tahun 2017 yang digunakan sebagai dasar pemblokiran dalam putusan.