METROJATENG.COM, JAKARTA – Tata kelola produk farmasi dan sistem kesehatan nasional harus segera dievaluasi dan diperbaiki agar perlindungan terhadap setiap warga negara dapat ditingkatkan.
“Upaya perlindungan terhadap setiap warga negara harus dikedepankan dalam memperbaiki tata kelola produk farmasi dalam sistem kesehatan nasional,” kata Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tata Kelola Produk Farmasi dalam Sistem Kesehatan dan Perlindungan terhadap Pasien yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (26/10).
Diskusi yang dimoderatori Dr. Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI Koordinator Bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah) itu, dihadiri oleh Dr. Ir. Penny K. Lukito, MCP (Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan), dr. Bambang Sudarmanto, Sp.A(K), MARS (Ketua Pokja UKK Hematologi/Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia) dan Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama Sp.P(K) (Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Guru Besar FKUI) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula, Irma Suryani Chaniago (Anggota Komisi IX DPR RI), dr. Bambang Tutuko, Sp.An, KIC (Ketua Komite Nasional Keselamatan Pasien), Dr. Jasra Putra, S.Fil.I,.M.Pd (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Siswantini Suryandari (Wartawan Media Indonesia bidang kesehatan) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, merebaknya penyakit gagal ginjal pada anak di sejumlah daerah di tanah air saat ini, harus diatasi bersama-sama lewat sinergi berbagai elemen, kerja bersama pemerintah pusat dan daerah, TNI-Polri, media, industri farmasi, lembaga kesehatan, dan masyarakat, seperti yang telah dilakukan saat menghadapi pandemi.
Sehingga, Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, upaya memperbaiki tata kelola produk farmasi dalam sistem kesehatan nasional untuk mencegah merebaknya penyakit gagal ginjal akut pada anak-anak, juga harus mendapat dukungan semua pihak.
Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu menegaskan saat ini bukan saat yang tepat untuk saling menyalahkan.
Kondisi merebaknya penyakit gagal ginjal terhadap anak yang diduga disebabkan bahan berbahaya pada obat sirup untuk anak, tegas Rerie, harus menjadi momentum melakukan perbaikan berdasarkan evaluasi tata kelola produk farmasi yang berlaku saat ini.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) , Penny K. Lukito mengungkapkan pihaknya memiliki sistem jaminan keamanan, mutu dan khasiat obat yang selama ini diterapkan sesuai aturan yang berlaku.
Menurut Penny, peran BPOM cukup luas tidak hanya mengawasi soal kesehatan, namun juga mencakup peredaran produk obat dan makanan.
Diakui Penny, pihaknya baru mendapat informasi terkait kasus gagal ginjal akut pada anak dari RSCM dan Kemenkes pada 10 Oktober 2022 dan segera melakukan investigasi dan penelurusan terkait obat yang diduga menjadi penyebab merebaknya gagal ginjal akut pada anak.
Penny berharap pihaknya juga mendapat kewenangan pengawasan di awal produksi farmasi dan post market, agar mampu meningkatkan keamanan obat dan makanan.
“Saya sangat berharap kita bersama bisa mengatasi krisis ini dengan sebaik-baiknya,” ujar Penny.
Ketua Pokja UKK Hematologi/Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Bambang Sudarmanto berpendapat setiap obat itu harus dipertimbangkan pemanfaatannya.
Keselamatan pasien, jelas Bambang, harus dikedepankan dalam pemberian obat.
Sistem pelayanan kesehatan dan penggunaan obat, ujarnya, sejatinya ditujukan untuk memenuhi kesehatan pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI, Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan bahwa WHO telah mengeluarkan medical product allert, ketika terjadi banyaknya kasus gagal ginjal akut pada anak di Gambia, yang diduga terjadi akibat mengonsumsi obat sirup yang diproduksi di India.
Menurut Tjandra, pihak berwenang di India pun merespon kasus tersebut dan diduga tercemarnya obat sirup dengan bahan berbahaya itu, akibat inspeksi yang tidak berjalan dengan baik dalam proses produksinya.
Terkait apakah harus memberlakukan status KLB (Kejadian Luar Biasa) terkait merebaknya kasus gagal ginjal akut pada anak, Tjandra berpendapat, hal itu sepenuhnya kewenangan pemerintah.
Ratusan anak meninggal akibat gagal ginjal akut, menurut Tjandra, merupakan sesuatu hal yang luar biasa.
Ketua Komite Nasional Keselamatan Pasien Bambang Tutuko menegaskan pengobatan yang aman harus diterapkan para pemangku kepentingan.
Menurut Tutuko, kasus gagal ginjal akut merupakan sentinel (kejadian yang mengakibatkan kematian) dengan skala nasional.
Pada kesempatan itu, Tutuko pun mempertanyakan apakah penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak sudah diinvestigasi dengan benar? Apakah tindakan pencegahan yang dilakukan saat ini hanya berdasarkan asumsi?
Tutuko menegaskan perlu tindakan segera penanganan kasus, sambil mengevaluasi dan investigasi berdasarkan bukti yang valid dalam rangka tindakan perbaikan untuk mendapatkan solusi terbaik bagi masyarakat.
Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago menilai masih terdapat komunikasi yang belum efektif antara BPOM dan Kemenkes dalam penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak di tanah air.
Bahkan, jelas Irma, BPOM dan Kemenkes belum bisa memastikan penyebab kasus yang sudah menimbulkan korban ratusan anak itu.
Setelah reses, menurut Irma, Komisi IX akan memanggil BPOM dan Kemenkes dimintai penjelasan terkait kasus tersebut.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jasra Putra menyampaikan duka cita mendalam terkait 225 kasus gagal ginjal akut yang menyebabkan 141 anak Indonesia meninggal dunia.
Dalam menghadapi situasi ini, Jasra berpendapat, sense of crisis harus dikedepankan dalam penanganannya.
“Percepat investigasi untuk mengungkap penyebab gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak,” tegas Jasra.
Wartawan Media Indonesia bidang kesehatan, Siswantini Suryandari mengungkapkan di awal merebaknya kasus gagal ginjal akut pada anak terjadi kepanikan di tengah masyarakat.
Untuk mengatasi hal itu, ujar Siswantini, media massa harus berpedoman pada sumber-sumber berita kompeten seperti BPOM dan Kemenkes, yang memiliki data yang valid, dalam menyebarkan informasi terkait kasus tersebut.
Jurnalis senior, Saur Hutabarat berpendapat yang terbaik dalam hidup adalah belajar dari kesalahan-kesalahan kecil.
Namun, tegas Saur, kenyataannya saat ini kita belajar dari kesalahan besar, seperti terjadi pada peristiwa Kanjuruhan dan gagal ginjal akut yang meminta ratusan korban jiwa.
Menurut Saur, negara harus pro aktif melakukan investigasi terhadap obat yang paling banyak dikonsumsi tanpa resep dokter.
Literasi pengobatan yang aman, jelas Saur, sangat penting diberikan kepada masyarakat. “Diperlukan kanal abadi agar masyarakat bisa konsultasi gratis tentang kesehatan dan pengobatan yang aman,” ujarnya.(nda)