Perempuan Tangguh Kelola Sampah di Desa Randugunting
Dari Memilah Sampah Hingga Memberi Nilai Tambah
METROJATENG.COM, UNGARAN –. Sifat perempuan yang cenderung komunal, kooperatif, dan asuh membuat posisinya penting dalam kegiatan bermasyarakat. Salah satunya dalam upaya penyelamatan lingkungan melalui pengelolaan sampah, wabil khusus sampah rumah tangga. Perempuanlah yang mampu menjadi kunci dalam mengendalikan produksi sampah rumah tangga.
Di Kabupaten Semarang, persoalan pengelolaan sampah semakin mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Informasi dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Semarang, sekitar 75 persen TPS telah kelebihan muatan, yang menyebabkan tidak semua sampah terdistribusi hingga ke TPA. Di Desa Randugunting, Kecamatan Bergas misalnya. Sebagian warga masih membakar sampah rumah tangga di pekarangan rumah.
“Sampah rumah tangga sebagian besar berasal dari dapur, ada plastik-plastik bekas kemasan makanan, minuman, dan bahan mentah yang disebut sebagai sampah anorganik. Kemudian ada juga sisa makanan matang, sisa buah-buahan, dan sayuran mentah yang tidak ikut termasak, disebut sebagai sampah organik,” jelas Dwi Kuspriyati, Kabid Peningkatan Kapasitas Lingkungan Hidup, dalam kunjungan ke Bank Sampah Randugunting.
Peran perempuan dalam pengelolaan sampah skala rumah tangga tak lepas dari aktivitas yang mereka lakukan tiap hari.
“Pembelanjaan konsumsi sehari-hari mayoritas dilakukan oleh ibu rumah tangga, jika mereka sudah mempunyai kesadaran mengelola sampah, otomatis anggota keluarga lain akan mengikuti,” tegas Ida, penggerak Bank Sampah (BS) Kebonan Berseri di Desa Randugunting ketika menerima kunjungan dari Forum Komunikasi Wartawan Kabupaten Semarang (FKWKS).
Maria, sekretaris FKWKS menyebutkan, kunjungan dilakukan untuk memberikan dukungan sekaligus apresiasi, terhadap peran perempuan dalam upaya pelestarian lingkungan, memperingati hari perempuan sedunia pada awal Maret lalu.
Melalui bank sampah, Ida mengajak tetangganya memilah sampah menjadi beberapa kelompok, antara lain sampah plastik, kaca, logam, kardus, dan sampah lain yang masih mempunyai nilai jual.
“Pemilahan ini membutuhkan orang yang telaten, sehingga cocok dengan karakter yang dimiliki oleh perempuan” jawab Ida ketika ditanya kenapa mayoritas pengurus BS adalah perempuan oleh rekan media.
Ibu dengan 2 anak ini menambahkan, mayoritas nasabah yang datang menimbang sampah adalah ibu rumah tangga, meski di antara mereka juga aktif bekerja sebagai karyawan pabrik atau wirausaha. Pada usianya yang ke 44, Ida masih terlihat penuh semangat dalam menjalani berbagai peran lingkungan tempat tinggalnya.
Untuk mendukung suaminya yang terpilih menjadi ketua RW di tahun lalu, ia juga aktif dalam program pengembangan desanya agar dapat mandiri melalui edukasi penanaman sayuran dengan sistem aquaponik. Sedangkan untuk mendukung ekonomi keluarganya, Ida sedang mengembangkan usaha katering miliknya yang seringkali kebanjiran order.
“Awalnya dari hobi memasak, Alhamdulilah ternyata banyak yang cocok,” tutur Ida sambil tersenyum.
Dengan kesibukannya, terkadang jadwal penimbangan sampah disesuaikan dengan jadwal pesanan usaha kateringnya.
“Yang penting disiplin dan berkomitmen dalam mengatur waktu, jangan hanya mementingkan satu sisi saja” imbuhnya.
Sampah yang telah dipilah nasabah, selanjutnya dibeli oleh pengepul dan hasilnya digunakan untuk kepentingan warga seperti pembuatan taman desa, atau sebagai tabungan yang dibagikan saat menjelang Hari Raya.
Lain halnya dengan Dyah Susilastuti, penggerak BS Wanito Utomo di Dusun Krajan, Desa Randugunting. Di sela kesibukannya bekerja sebagai guru Taman Kanak-kanak (TK), ia menyempatkan diri untuk melayani tetangganya yang menyetorkan sampah anorganik yang belum terpilah.
“Awalnya saya tidak mengambil untung, hanya membantu saja karena nilai jualnya lebih tinggi bila sampah sudah terpilah dengan baik”. ungkap Dyah yang juga aktif sebagai pengurus PKK Desa Randugunting.
Mengingat jumlah nasabah semakin bertambah, ia bersepakat dengan para nasabah BS agar selisih nilai jualnya masuk ke kas pengurus BS, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk kebutuhan operasional BS. Menurutnya, perempuan sebagai ibu menjadikannya faktor utama dalam penerapan edukasi pelestarian lingkungan, khususnya dalam pengelolaan sampah.
”Di sini yang mengasuh anak, dan mengurus rumah lebih banyak dari perempuan, karena yang laki-laki biasanya sibuk bekerja,” kata Dyah.
Oleh sebab itu, Dyah memilih untuk menyampaikan sosialisasi tentang pengelolaan sampah melalui kegiatan yang dilakukan oleh perempuan, seperti rapat PKK dan perkumpulan Dasawisma (Dawis)
Hal serupa juga dilakukan oleh Supriyati, ibu rumah tangga dengan 2 anak yang menjadi pengurus PKK di Desa Randugunting. Di umurnya saat ini yang sudah 44 tahun, ia ingin memberikan kontribusi untuk keluarga dan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya.
“Dulu sempat kerja di pabrik, lalu memutuskan untuk membantu suami mengembangkan usaha sendiri agar punya waktu lebih untuk keluarga” tambahnya di sela aktifitas penimbangan sampah.
Supriyati mengakui, banyak kendala yang ditemui ketika memulai BS. Namun dengan sosialisasi yang konsisten melalui rapat PKK, saat ini hampir seluruh warga di sekitar tempat tinggalnya telah menjadi nasabah BS. Beliau juga mengajak tetangganya yang memiliki waktu luang untuk membantunya dalam kegiatan operasional BS di sela aktivitasnya melayani pelanggan toko.
“Yang penting ikhlas mas, supaya hal positif yang kita lakukan untuk lingkungan itu nantinya bisa menjadi berkah untuk kita sendiri,” pesan beliau pada peserta kunjungan.
Sarmi, istri dari ketua RT 03 RW 01 Desa Randugunting juga menyampaikan tantangan dalam mengajak warganya untuk memilah sampah. “Dulu awalnya sulit mencari warga yang mau aktif untuk kegiatan sosial dan lingkungan” katanya.
Banyak warga yang masih membakar atau menimbun sampah di pekarangan rumah. Berbekal informasi yang ia dapat dari rapat PKK tentang nilai ekonomi sampah, Sarmi mulai aktif mengajak tetangganya untuk membentuk BS, agar lingkungan sekitar rumahnya menjadi lebih bersih, sekaligus menjadi tambahan penghasilan.
“Warga senang karena mendapatkan tambahan penghasilan dari pemilahan sampah ini, cukup membantu untuk nambah duit belanja,” katanya.
Saat ini terdapat 5 BS di Desa Randugunting, di antaranya Kebonan Berseri, Maju Jaya, Wanita Utomo, Maju Makmur, dan Wijaya Kusuma yang seluruhnya digerakan oleh perempuan. Sebagai warga usaha yang berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan, CCEP Indonesia menyadari pentingnya peran perempuan dalam mengurangi sampah. Oleh karena itu, sejak tahun 2020 lalu CCEP Indonesia bersama warga mulai meluncurkan program pengelolaan sampah, melalui edukasi pembentukan bank sampah untuk mengubah perilaku warga agar dapat mengelola sampah dengan baik. Dari total 5 BS tersebut, dapat terkumpul sekitar 6.000 kg sampah ekonomis per tahun.
“Kami berharap kegiatan ini dapat terus berkembang, sehingga dampak yang dirasakan masyarakat juga bertambah” kata Regional Corporate Affairs Manager-East Indonesia Region CCEPI Armytanti Hanum Kasmito.
Tidak hanya di wilayah Kabupaten Semarang, CCEP Indonesia di area operasional Bali pun memiliki inisiatif program pemberdayaan perempuan yang menyasar kepada pengembangan kemandirian ekonomi kepada ibu-ibu kru kebersihan pantai program Bali Beach Clean Up (BBCU). Sebanyak 75 orang kru kebersihan pantai ini diberikan pelatihan pengolahan bahan baku sampah daun di pantai untuk dijadikan sebagai salah satu material untuk motif pembuatan batik eco-print.
Inisiatif ini bertujuan untuk dapat memberikan peluang ekonomi alternatif bagi komunitas dan masyarakat sekitar pantai khusunya, terlebih dalam memaksimalkan potensi ekonomi kreatif yang sejalan dengan konsep ekonomi sirkular dari pemanfaatan sampah pantai tersebut.
Sedangkan di Jawa Timur, CCEP Indonesia juga mengembangkan Waste Management Education, program pengelolaan sampah di Desa Kepulungan Kabupaten Pasuruan, yang sebagian penggeraknya didominasi oleh kaum perempuan. (tya)