Metro Jateng
Berita Jawa Tengah

Tugu Lahar Dingin, Peringatan Bencana Lahar Dingin Merapi di Desa Sirahan

METROJATENG.COM, MAGELANG – Bencana lahar dingin yang melanda Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang pada 11 Januari 2011, menjadi sebuah kenangan pahit yang tak akan terlupakan bagi warganya. Peristiwa tersebut menyisakan dampak besar yang tak terhindarkan, menuntut masyarakat untuk bertahan menghadapi salah satu kekuatan alam yang paling mematikan.

Lahar dingin yang seharusnya mengalir melalui aliran Kali Putih dan Blongkeng di Kecamatan Salam dan Ngluwar, ternyata meluap dan menenggelamkan sejumlah permukiman warga. Banjir lahar tersebut memporak-porandakan sedikitnya tujuh dusun, yaitu Gemampang, Sirahan, Salakan, Jetis, Glagah, Gebayan, dan Candi, serta merusak infrastruktur yang ada.

Menurut data dari Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, sebanyak 4.265 orang harus mengungsi, dengan 421 di antaranya merupakan kelompok rentan. Banjir lahar dingin ini terjadi hanya tiga bulan setelah erupsi besar Gunung Merapi pada 28 Oktober 2010, yang menambah deretan bencana alam yang melanda kawasan ini.

Pada sore menjelang magrib, banjir lahar dingin yang datang dengan cepat dan tak terduga, menerjang Dusun Gemampang. Warga tidak menyadari bahwa aliran Kali Putih yang biasa deras, tiba-tiba surut, menandakan datangnya bencana. Mereka yang berada di sekitar sungai panik, bergegas kembali ke dusun untuk memberi tahu warga lainnya, meski dalam kebingungannya mereka tidak sempat melaporkan kejadian tersebut.

Namun, kabar mengenai datangnya banjir segera tersebar lewat radio HT yang dimiliki sebagian warga. “Banjir besar sudah sampai. Sudah lewat jalan. Masyarakat langsung mengungsi,” cerita Edi Pranowo (43), salah satu warga Dusun Gemampang, mengenang kejadian itu. Banjir lahar yang setinggi 1,5 meter itu melintas lewat jalan dusun, merobohkan tembok sebuah Taman Kanak-Kanak (TK), dan menimbulkan kerusakan besar di sekitarnya.

Membangun Tugu Peringatan Lahar Dingin

Sebagai bentuk peringatan dan untuk mengenang peristiwa besar tersebut, warga Dusun Gemampang mendirikan sebuah prasasti yang dikenang sebagai Tugu Lahar Dingin Merapi 2011. Tugu ini berdiri tepat di pertigaan jalan desa yang dulu dilalui aliran lahar. Sebuah batu besar yang tersangkut di pohon beringin tua di kawasan tersebut menjadi simbol dari bencana yang melanda. Pohon beringin itu sendiri telah lapuk dan mati seiring waktu, namun batu yang tersangkut tetap menjadi saksi bisu dari kedahsyatan banjir lahar.

Edi menambahkan bahwa batu besar yang tersangkut di pohon beringin ini kini menjadi pusat perhatian dan simbol kekuatan alam yang tak terduga. “Batu itu menabrak pohon beringin. Dulu ada pohon beringin di situ. Jalan masih sempit waktu itu,” kenangnya.

Untuk membangun prasasti peringatan ini, warga melakukan gotong royong secara swadaya, mencari batu marmer dan tukang yang ahli menulis di batu. Prasasti tersebut diresmikan pada 18 Agustus 2018, bertepatan dengan perayaan Agustusan, dengan dihadiri oleh sejumlah pejabat, termasuk Abdul Kadir Karding (Anggota DPR RI) dan Rohadi Pratoto (Kepala Bappeda Magelang), yang turut memberikan dukungan terhadap inisiatif ini.

Desa Sirahan berada di wilayah yang rawan bencana sekunder dari aktivitas Gunung Merapi. Meskipun tidak terkena langsung oleh erupsi Merapi, desa ini tetap berpotensi terancam oleh banjir lahar dingin, terutama karena posisinya yang berada di antara dua sungai besar: Kali Putih dan Blongkeng, yang keduanya bermuara di puncak Merapi. Bila hujan deras mengguyur puncak gunung, material vulkanik bisa terbawa oleh aliran sungai, mengarah ke permukiman di bawahnya.

Pemerintah Desa Sirahan telah menyiapkan dokumen mitigasi bencana, yang memuat rencana evakuasi bagi sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di zona rawan bencana. Dalam kondisi darurat, warga akan diarahkan untuk mengungsi ke Tempat Evakuasi Akhir (TEA) di Tanjung, Kecamatan Muntilan, demi keselamatan mereka.

Menurut Ganis Puspo Sadoro, perangkat Desa Sirahan, meskipun bencana lahar dingin pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1960-an, bencana pada 2011 jauh lebih besar dampaknya. “Pada tahun 1930-an, sebelum aliran Kali Blongkeng dibendung oleh Presiden Soeharto, banjir lahar dingin pernah terjadi, tapi tak separah yang terjadi pada tahun 2011,” kata Ganis menjelaskan.

Melalui tugu peringatan dan kesiapsiagaan mitigasi bencana, warga Desa Sirahan berupaya untuk tetap waspada terhadap potensi bencana di masa depan, sambil mengenang tragedi yang mengajarkan pentingnya kesiapan dalam menghadapi ancaman alam yang tidak bisa diprediksi.

Tugu lahar dingin Merapi di Desa Sirahan kini bukan hanya sekadar batu peringatan, tetapi juga simbol kekuatan alam dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Comments are closed.