Perizinan dan Estetika Reklame Kota Semarang Disorot
Public Hearing Pansus Reklame DPRD Kota Semarang
Banyak pemasangan reklame yang merusak estetika dan keindahan kota. Sehingga kondisi kota menjadi hutan reklame
SEMARANG – Dalam upaya menjaring aspirasi masyarakat, khususnya pengusaha reklame, Pansus Reklame DPRD Kota Semarang menggelar public hearing. Kegiatan ini dipimpin oleh Ketua Pansus Reklame DPRD Kota Semarang Meidiana Koswara dan dihadiri segenap anggota pansus, seperti Budiharto, Wisnu Pudjonggo, Fajar Rinawan S, Swasti Aswagati, Lina Aliana dan lain sebagainya.
Sejumlah pengusaha biro reklame yang tergabung dalam Asosiasi Biro Reklame Semarang (ABRS) nampak hadir. Mereka dengan antusias mengikuti kegiatan public hearing yang juga dihadiri sejumlah perwakilan OPD terkait, seperti Bapenda, Dinas Penataan Ruang, Dinas Pekerjaan Umum, Satpol PP dan lain sebagainya.

Kesempatan ini digunakan para pengusaha reklame untuk menyampaikan pendapat. Seperti permasalahan perizinan dan estetika serta tata letak reklame yang jadi sorotan dalam public hearing materi raperda (rancangan peraturan daerah) tentang Reklame.
Di depan anggota Pansus Raperda Reklame DPRD Kota Semarang, para pengusaha reklame minta perizinan dibuat lebih sederhana. ‘’Banyak reklame dipasangi stiker kuning karena belum berizin atau bayar pajak. Karena itu kami berharap ada penyederhanan perizinanan,’’ kata peserta public hearing, Aji.

Peserta lain, Kadek menyoroti banyak pemasangan reklame yang merusak estetika dan keindahan kota. Sehingga kondisi kota menjadi hutan reklame. Dia berharap, dalam perda atau perwal tentang reklame nanti tata letak dan peruntukan reklame harus diatur dan diawasi secara ketat. Harus jelas radius yang diperbolehkan untuk dipasang reklame.
‘’Misalnya di sekitar kantor pemerintahan, harus diperjelas berapa radius dari kantor pemerintah dan besarannya. Begitu juga di Kota Lama dan di titik lainnya yang boleh untuk reklame,’’ ujarnya. Rahman, peserta lainnya juga mempertanyakan banyaknya reklame sifatnya non permanen yang dipasang di sekitar tempat-tempat ibadah.

‘’Aturannya harus diperjelas kapan reklame non permanen harus dicabut. Contoh di sekitar Masjid Baiturrahman, banyak spanduk yang sangat mengganggu keindahan masjid,’’ kata Rahman. Menanggapi hal itu, anggota Pansus Raperda Reklame Lina Aliana mendukung perlunya penataan reklame di sekitar kantor pemerintahan, termasuk di tempat ibadah seperti masjid atau gereja.
Dia sudah menyampaikan kepada pihak eksekutif agar radius tidak terlalu dekat dengan kantor pemerintah. Semangatnya bukan untuk menghalangi pengusaha, tapi semata untuk menjaga marwah dari kantor pemerintahan.

‘’Bahkan kita mengusulkan radius minimal 500 meter. Penggunaan titik reklame juga harus sesuai peruntukan, misalnya untuk billboard, spanduk atau lainnya. Semua itu harus diatur secara detail dalam perwal,’’ terangnya.
Lina juga menyampaikan di tempat-tempat ibadah seyogyanya tidak dipasangi reklame non permanen. Supaya tidak mengganggu estetika dan pengelola tempat ibadah tersebut. Sementara itu, Beta Marhendriyanto dari Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang yang mewakili Pemkot Semarang mengatakan, usulan dan masukan dari peserta public hearing tersebut akan diperhatikan dan jadi kajian untuk penyempurnaan raperda reklame.

Menurutnya, penetapan titik-titik reklame yang sudah ada akan dikaji kembali sesuai usulan dan masukan. Termasu seperti usulan tidak boleh ada reklame yang sifatnya non permanen di sekitar tempat-tempat ibadah. ‘’Perizinan kita usahakan juga lebih mudah seperti diharapkan masyarakat. Misalnya tidak perlu lagi sertifikat tanah, tapi cukup ada perjanjian kerjasama (pengusaha biro reklame) dengan pemilik tanah,’’ jelasnya.
Sedangkan terkait banyaknya reklame yang dipasangi stiker kuning, hal itu kebanyakan karena belum bayar pajak. Sedangkan yang belum berizin akan dibongkar setelah diberikan surat peringatan untuk segera mengurus perizinan. “Jika surat peringatan diabaikan, ya terpaksa kita bongkar,” ujar Beta Marhendriyanto. (ADV)
Tidak bisa berkomentar. Sudah ditutup.